Buscar

Páginas

Saat Bertugas di Perang Teluk, Abdal Malik Rezeski Terkesan Kesalehan dan Sikap Rendah Hati Muslim



Saat Bertugas di Perang Teluk, Abdal Malik Rezeski Terkesan Kesalehan dan Sikap Rendah Hati Muslim
Abdal Malik Rezeksi
Kamis, 28 Juli 2011 13:07 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Ia adalah warga New York kelas menengah sekaligus perwira dalam Angkatan Darat Amerika Serikat (AS). Pada 1991 ia dengan senang hati bergabung melayani negara dalam tugas di Perang Teluk I.

Tahun berikut ia dikirim ke Pakistan, dimana ia bertemu orang saleh dan terkesan dengan mereka. "Mereka baik, orang-orang rendah hati yang mencoba menjalankan ibadah dengan taat," tuturnya.

Ia mulai belajar Islam pertama karena didorong oleh rasa ingin tahu, lalu keluar dari keyakinan. Tepat di akhir tahun, ia menjadi seorang Muslim.

"Ayah saya seorang Yahudi, ibu saya Kristiani," tutur Abdal Malik Rezeski yang tinggal di Dallas. "Islam adalah agama pertama yang masuk akal bagi saya."

Islam adalah salah satu agama yang tumbuh cepat di Amerika. Salah satu penyebab adalah pertambahan imigran dan angka kelahiran yang tinggi di kalangan mereka. Namun seiring waktu, justru lebih banyak warga asli Amerika yang beralih ke Islam.

Mereka tertarik dengan aturan moral ketat yang diusung Islam, sistem keyakinan yang sebenarnya serupa dengan Yudaisme dan Nasrani. Kemiripan itu, menurut ulama, memudahkan langkah-langkah untuk mempraktekan dan beralih ke Islam.

"Pesan langsung mengenai Tuhan, jauh lebih mudah dipahami ketimbang konsep Trinitas, ujar Jane Smith, seorang pakar studi Islam di Hartford Seminary.

Mayoritas warga Amerika yan beralih, 64  persen adalah Afrika-Amerika, demikian menurut The Mosque Report, sebuah kajian nasional yang dilakukan empat organisasi Muslim. Salah satunya adalah Share Muhammed, 48, yang sejak kecil rajin mendatangi gereja kulit hitam.

"Yang langsung menarik perhatian saya dari Islam adalah saya tidak melihat rasisme," ujarnya. Di masjid, wanita itu mengaku bertemu dengan banyak imigran dari penjuru dunia dan kemajemukan Amerika.

Sekitar 6 juta Muslim tinggal Amerika Serikat. The Mosque Report memperkirakan sekitar 30 persen jamaah adalah mualaf.

Namun tak seorang pun tak pasti berapa mualaf di sana karena Muslim tidak mencatat informasi itu. Mereka mengatakan hal itu juga cukup sulit karena orang kerap beralih memeluk Islam tanpa keterlibatan masjid.

"Bagi Muslim, itu adalah antara diri anda dan Tuhan," ujar seorang pakar sosiologi agama, Dr. Behrooz Ghamari-Tabrizi, di Georgia State University. "Sementara dalam Yahudi dan Kristen, anda harus mengikuti ritual formal."

Seperti yang dialami Rezeksi, di hari ia memutuskan memeluk Islam, ia mencari teman-teman Pakistannya. Dengan keberadaan mereka ia mengucapkan dua kalimat syahadt. "Tiada Tuhan selain Allah (swt) dan Muhammad adalah rasul-Nya."

Begitu mengkaji Al Qur'an, kitab suci Muslim, ia mengaku kian tertarik lebih dalam dengan agama tersebut.

"Dengan Islam saya bisa melihat ramuan bagaimana agar berhasil menjalani kehidupan saat ini dan kehidupan masa nanti." ujarnya. "Tidak hanya panduan praktikal mengenai perceraian dan bagaimana memperlakukan anak yatim, tetapi juga petunjuk spiritual yang memaparkan apa Tuhan itu dan bagaimana kita seharusnya berhubungan dengan-Nya."
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Dallasnews.com

STMIK AMIKOM

Sara dan Elaine: Sebelum Jadi Muslim Coba-coba Puasa....Kini Bersyukur Rasakan Ramadhan



Sara dan Elaine: Sebelum Jadi Muslim Coba-coba Puasa....Kini Bersyukur Rasakan Ramadhan
Sara dan Elaine
Senin, 01 Agustus 2011 15:10 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR - Seperti tengah menjalani cinta pertama. Inilah yang dirasakan Siti Sara Phang Abdullah dan Nur Balqis Elaine ketika menceritakan kembali konversi mereka ke dalam Islam. Ramadhan bagi keduanya, bak dicinta ulam tiba.

Dibesarkan dalam keluarga Kristen, Sara, 19, pada mulanya terpesona pada budaya Islam. Dia terpikat oleh tradisi seperti jilbab, dan bagaimana teman-teman Muslim-nya mempunyai banyak doa, sejak dari bangun tidur, makan, ke toilet, berkendara, hingga tidur lagi. Saat Ramadhan, mereka berpuasa.

"Tapi mereka tidak bicara tentang Islam, atau mempromosikannya pada saya. Saya jatuh cinta dengan keindahan Islam dengan sendirinya," tambahnya.

Elaine, 20, yang berdarah campuran Cina-Dayak, mengakui hal sama. "Aku punya teman banyak di sekolah Melayu, dan hatiku tertambak pada Islam. Ini adalah benar-benar baru dan perasaan yang hebat," katanya dalam bahasa Melayu fasih. Ibunya adalah seorang Katolik Roma.

Sambil tersenyum, dia menambahkan bahwa dia merasa lebih tenang sekarang banyak setelah memeluk Islam.

Berpakaian sederhana, dua wanita muda ini antuasias menceritakan kisah mereka di Perkim, sebuah organisasi kesejahteraan Islam yang didirikan untuk membantu mualaf Malaysia menyesuaikan diri dengan kehidupan baru sebagai Muslim.

"Ketika saya bangun selama sahur, saya senang untuk berpuasa," kata Sara. Ia, yang dulu kerap coba-coba berpuasa, mengikuti kebiasaan teman-teman muslimnya saat Ramadhan, menambahkan bahwa ia sedikit lelah dan haus di siang hari. "Jika saya bisa tahan, saya teruskan, tapi kalau perut terasa sangat nyeri karena asam lambung naik, saya berbuka."

Sedang Elaine, ia mengaku terbiasa berpuasa. Saat bersekolah di Kedah, ia kerap ikut berpuasa setiap hari Senin dan Kamis. "Perut saya sakit sedikit karena udara di dalam," akunya.

Elaine menambahkan bahwa puasa membuatnya sangat bahagia. Ia merasa tenang dan mengingatkan kerendahan hati dan kesabaran.

Meskipun kisah-kisah mereka diceritakan dengan kegembiraan yang besar, namun perjalanan mereka menemukan Islam tidaklah mulus. Sara dan Elaine tinggal di penampungan Perkim untuk anak perempuan, setelah keluarga mereka mengusirnya karena berpindah agama.

Sara berkata bahwa keluarganya tidak setuju dengan pilihannya pada Islam. Walau ia menyembunyikannya, akhirnya keluarga besarnya mengendusnya.

"Ayah saya melihat saya memiliki lebih banyak baju kurung,  buku-buku Islam dan hal-hal keagamaan lainnya, sehingga ia bertanya," ia menjelaskan. Sara, yang dibesarkan sebagai seorang Protestan, akhirnya mengaku ia telah menjadi Muslim.

Dia mengatakan bahwa ibunya dan saudara perempuannya menerima, tetapi ayahnya telah memberinya ultimatum untuk memilih antara tinggal di rumah atau menjadi seorang Muslim. Dia memilih yang terakhir dan sekarang ia tinggal di penampungan dengan Elaine.

Elaine menyatakan ayahnya yang seorang Buddha telah menerima agama barunya. Tak demikian dengan sang ibu. ""Karena aku seorang Muslim sekarang, akan lebih mudah buatku untuk tinggal di luar saja," tambahnya.

Dia mengakui bahwa "agak aneh" bagaimana dia tertarik dengan Islam. "Setiap kali saya mendengar azan, hati saya gelisah," katanya dengan kilau di matanya.

Inilah yang mendorongnya untuk lebih banyak tahu tentang islam. "Islam lebih menenangkan. Aku lebih tenang sekarang," katanya.

Kedua gadis ini menjelaskan bahwa mengubah nama mereka tidak terlalu sulit. Yang dibutuhkan, katanya,  adalah "Kad Islam" dari Departemen Agama Islam (Jawi), atau sebuah "Surat Sumpah", disertai akte kelahiran dan kartu identitas mereka. "Diurus di Putrajaya, maka di hari yang sama kita sudah bisa menyandang nama baru Muslim," kata Elaine.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: The Malaysia Insider, Perkim

Wanita Atheis Skotlandia Ini Menemukan Islam pada Usia 65 Tahun

   
Wanita Atheis Skotlandia Ini Menemukan Islam pada Usia 65 Tahun
Maryam Noor

Senin, 01 Agustus 2011 16:23 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Nama Islaminya adalah Maryam Noor. Sedangkan nama aslinya adalah Margaret Templeton.

Wanita ini lahir di Skotlandia dan tumbuh besar di keluarga atheis sehingga ia pun tak percaya Tuhan. Dalam rumahnya anggota keluarga dilarang berbicara tentang Tuhan. "Bahkan ketika kami belajar di sekolah, kami tak dibolehkan menyoal itu di rumah, bila tidak kami dihukum."

Namun sejauh yang bisa ia ingat, Maryam selalu berupaya mencari Kebenaran mengapa ia hidup di dunia. "Mengapa saya hidup dan apa yang seharusnya saya lakukan."

Ketika ia cukup dewasa, ia mulai mencari beberapa informasi tentang 'sosok  yang disebut Tuhan' yang selalu disebut oleh orang-orang dan didengar Maryam selama hidupnya. "Saya mencari Kebeneran, bukan agama tertentu," tutur Maryam.

"Kebenaran yang masuk akal bagi saya, sesuatu yang membuka hati saya dan membuat saya layak untuk hidup," ujarnya. Saat mencari ia memasuki setiap jenis gereja baik di Inggris maupun dekat rumahnya. "Tak pernah sebelumnya terbesit untuk berpikir tentang Islam."

Maryam tertarik dengan Islam, namun saat itu perang tengah berkecamuk di Irak dan ia membaca banyak hal mengerikan tentang Muslim di surat kabar. "Saya merasa berpengalaman dan memiliki pendidikan dalam mempelajari agama lain, sehingga saat itu pun saya berpikir semua itu tak benar," ungkap Maryam.

Ia pun mencari seseorang yang bisa mengajarinya dan memberi tahunya tentang Islam dan cara hidup berdasar agama ini. "Sehingga saya bisa membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang berasal dari tipu daya setan," tutur Maryam.

Satu hal yang selalu ia lakukan selama pencarian, ia sellau berbicara dengan siapa pun dan tersenyum dan menyapa setiap orang. " Saya berkata 'Halo', 'Bagaimana kabarmu?', 'Bagaimana harimu?', karena Yesus selalu menyebarkan kebahagiaan di mana pun dan kapan pun ia berada. Saat itu saya penganut Katholik Roma," ungkap Maryam.

Namun ia merasa tak bahagia dengan agama tersebut dan akhirnya meninggalkan gereja. "Tapi saya tak tahu kemana lagi harus pergi," ujarnya.

Di saat bersamaan ia tengah mencari pula guru Islam. "Saya berdoa setiap saat, setiap hari kepada Tuhan 'Bantu aku, bantu aku, bantu aku'. Ia lakukan itu berulang-ulang, terus menerus selama dua tahun. "Karena saya tak tahu apa yang harus diperbuat dan pergi ke mana," ungkap Maryam.


Hingga suatu hari seorang kawan dari temannya membawa seorang yang alim ulama. Namanya Nur El-Din. Ia adalah seorang Arab yang lahir di negara itu. Ia mengundang Maryam untuk datang ke rumahnya dan memberi tahu buku apa yang harus dibeli dan apa yang harus ia lakukan. Bahkan Nur membuka diri untuk dihubungi kapan saja bila Maryam memiliki pertanyaan. "Itulah hubungan kami, ada tujuh volume buku yang saya baca mengenai tafsir dan terjemahan terhadap Al Qur'an dan buku itu sangat luar biasa."

Maryam pun mulai mengkaji Islam. Ia membuka buku pertamanya dan membaca kata pengantar. Ia tidak memulai dari belakang, melainkan dari depan. Ia langsung menuju surah Al Baqarah.

Sebelum Al Baqarah terdapat Surah Al Fatihah. Rupanya Maryam kembali ke awal lagi dan membaca umul kitab tersebut. "Begitu saya membaca, rasanya seperti tersambar. Air mata saya bercucuran. Hati saya berdebar keras, saya berkeringat dan gemetar," tutur Maryam.

Awalnya ia takut itu adalah godaan setan. "Seperti ia mencoba menghentikan saya karena saya mungkin menemukan jalan, karena buku ini mungkin membukakan saya menuju Kebenaran, sesuatu yang selama ini saya cari," ujarnya.

Maryam pun langsung menelpon Nur El-Din. "Ia berkata datanglah saya ingin bertemu kamu. Saya pun pergi ke tempatnya. Saat itu musim dingin, begitu sampai rasanya tubuh saya seperti balok es," ungkapnya.

Ia menuturkan pengalaman kepada Nur El-Din. "Saya berkata padanya ini pasti ulah setan, apa yang harus saya perbuat?" ujarnya. Maryam menuturkan kala air matanya bercucuran ia bisa melihat jelas ke dalam hatinya, begitu besar, merah--alih-alih terang, dan tidka berbentuk sama sekali. "Saya sangat takut," ujarnya.

Nur El-Din pun berkata padanya, "Margaret, dikau akan menjadi seorang Muslim." Maryam membalas, "Tapi saya tidak membaca buku-buku ini untuk menjadi seorang Muslim. Saya membaca demi membantah semua kebohongan yang telah disebarkan di media mengenai Muslim," ujarnya. "Saya tak ingin menjadi Muslim," kata Maryam lagi.

Namun Nur El-Din tetap pada keyakinannya. "Margeret dikau akan menjadi Muslim karena, baiklah saya harus memberi tahumu bahwa ada campur tangan kekuatan Tertinggi dalam hidupnya. "Saat itu saya berusia 65 tahun. Kini saya 66 tahun dan saya telah menjadi Muslim selama satu tahun."

Ia akhirnya melakukan kajian lebih dalam lagi dengan si ulama mulai November hingga Februari. Akhirnya ia tak bisa menahan diri untuk bersegera mengucap syahadat. Saat dorongan itu timbul Maryam sempat bertanya apakah itu tak terlalu terburu-buru baginya.

"Anda tahu, ketika bertanya itu, alasannya bukan lagi karena saya tak mau menjadi Muslim. Saya telah meyakini bahwa Allah akan selalu mengampuni hambanya, yang saya pikirkan saya terlalu kecil, terlalu banyak dosa, dan hidayah itu rasanya hadiah terlalu besar bagi saya yang tak seberapa," tutur Maryam.

Nur El Din hanya berkata satu kata "Nur". Saat itu 11 Februari 2003, Maryam duduk sedikit jauh dari Nur El Din yang berpakaian serba putih mulai. "Ulangi persis seperti yang saya ucap," ujar Nur El Din. Ia mengucapkan syahadat yang langsung diulang oleh Maryam.

Usai mengucap syahadat Maryam bertanya, "Apa yang barusan saya ucapkan?". Nur El Din memaparkan artinya dalam Bahasa Inggris. Setelah itu ia pun resmi menjadi Muslim dan mengganti namanya dengan Maryam.

"Saya tak bisa berkata bahwa saya Muslim yang baik, karena itu luar biasa sulit," ungkap Maryam. "Saya kehilangan semua teman Katholik, semua teman mengobrol saya. Bahkan putri saya menganggap saya gila. Satu-satunya yang percaya saya adalah putra saya yang mengatakan mungkin saya menemukan Kebenaran. Ia adalah salah satunya yang mungkin menyusul saya menjadi Muslim," ungkapnya.

Tantangan terberat yang dirasakan Maryam adalah tempat tinggal di mana ia hidup di dunia sekuler, bukan dunia Muslim. "Dengan sepenuh hati, saya ingin tinggal di dunia Muslim dan memiliki komunitas Muslim. Saya satu-satunya Muslim yang tinggal di kawasan ini. Namun Allah selalu baik kepada saya karena ditengah kesulitan, saya tetap bahagia dan terus memiliki kesempatan belajar,"

Maryam mengaku kini membaca Al Qur'an dalam terjemahaan Bahasa Inggris. "Usia saya sungguh membuat saya sulit menghafal jadi saya menggunakan buku terjemahan. Dan saya memohon pada Allah, 'Mohon Ya Allah yang Maha Pengasih dan Penyanyang, saya hanyalah seorang bayi berusia 65 tahun dan saya memiliki kesulitan dan bantulah aku," setiap saya berdoa itu saya selalu menemukan jalan. Ia benar-benar membantu saya."



Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari